Review Film Ghostbusters Afterlife: Regenerasi Para Pemburu Hantu!

Review Film Ghostbusters Afterlife: Regenerasi Para Pemburu Hantu!

Akurasi.id Film Ghostbusters Afterlife memperbaiki segala hal yang rusak pada film/remake sebelumnya, Ghostbusters Answer The Call (2016). Digarap langsung oleh Jason Reitman yang juga anak dari kreator franchise Ghostbusters, Ivan Reitman, Afterlife mengembalikan heart, thrill, dan suspense yang hilang pada film sebelumnya sekaligus memasukkan tone baru yang lebih engaging. Hasilnya, Afterlife adalah nostalgia trip yang setia dengan asalnya namun tidak kehilangan kebaruannya.

Film Ghostbusters Afterlife dibuka oleh Egon Spengler (mending Harold Ramis). Kurang lebih 31 tahun sejak insiden Vigo the Carpathian di New York (Ghostbusters II, 1989), Ghostbusters membubarkan dirinya. Keempat anggotanya yaitu Ray, Winston, Peter, dan Egon memutuskan berpisah serta memulai kehidupan baru. Walau begitu, dari keempatnya, hanya Egon yang memutuskan untuk tetap di jalur supernatural.

Meninggalkan keluarganya dan pindah ke sebuah kota kecil bernama Summerville, Egon memburu makhluk supernatural misterius yang muncul dari Penambangan Shandor. Dengan segala teknologi berburu hantu yang ia punya, Egon pede bakal bisa menangkap makhluk tersebut seorang diri. Nasib berkata beda, teknologi yang disiapkan Egon rusak di saat genting dan ia menjadi korbannya. Egon tewas seketika.

Sebelum tewas, Egon sempat mewariskan rumahnya di Summerville ke putrinya, Callie (Carrie Coon). Dalam kondisi ekonomi pas-pasan dan hendak diusir dari apartemennya, Callie tak punya pilihan selain memborong kedua anaknya, Trevor (Finn Wolfhard) dan Phoebe (McKenna Grace), ke Summerville untuk menempati rumah Egon.

Awalnya, kehidupan baru Callie, Trevor, dan Phoebe di Summerville berjalan baik-baik saja. Callie dekat dengan seismologist Gary Grooberson (Paul Rudd), Trevor mendapat pekerjaan di Spinners Burger Shack, dan Phoebe berteman dekat dengan bocah podcaster bernama Podcast (Logan Kim). Namun, normalitas itu perlahan berubah seiring dengan makin banyaknya event-event misterius di Summerville dan terkuaknya hal-hal yang selama ini dirahasiakan Egon dari keluarganya maupun Ghostbusters.

Ketika trailer film Ghostbusters Afterlife pertama kali muncul, first impression yang timbul adalah kisahnya akan lebih dark dan serius. Realitanya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Di satu sisi, cerita Ghostbusters: Afterlife memang lebih dramatis dengan tema family sebagai backdropnya, namun di sisi lain tetap asyik seperti kedua prekuelnya. Penonton akan menemukan misteri, investigasi, dan laga yang fun di dalamnya.

Treament film Ghostbusters Afterlife sendiri berhasil menghindari kesalahan yang dibuat oleh Star Wars Episode VII: The Force Awakens. Jason Reitman tidak membuat cerita yang terasa seperti kemasan ulang dari kedua film sebelumnya. Meski di dalam film para penggemar lama akan menemukan banyak penghormatan ke prekuel, kisah Ghostbusters: Afterlife benar-benar dirancang sebagai true sequel dari sisi manapun.

READ  Hoax, Anang Hermansyah Dikabarkan Meninggal

Pemilihan setting rural sebagai lokasi utama kisahnya adalah salah satu indikatornya. Dengan memborong perburuan hantu dari lokasi yang lebih metropolis dan modis ke lokasi yang lebih minimalis, sutradara Jason Reitman bisa menghindari segala potensi kemiripan dengan film-film garapan ayahnya.

Indikator lainnya adalah delivery komedi. Jason Reitman tahu betul bahwa franchise Ghostbusters bukanlah film horror through and through, melainkan film horror dengan bumbu komedi. Komedinya sendiri hadir dari dinamika anggota Ghostbusters, yang memiliki pribadi berbeda-beda, merespon event-event supernatural di hadapan mereka.

Untuk menghadirkan dinamika yang serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, Jason Reitman memutuskan untuk memakai pendekatan ala Stranger Things, The Goonies, dan IT. Tim Ghostbusters tak lagi diisi orang dewasa, tetapi anak-anak dan remaja yaitu Trevor, Phoebe, dan Podcast. Selain itu, setting waktunya saat libur musim panas di mana anak-anak biasa berlibur.

Sama seperti Egon cs, masing-masing memiliki kepribadian berbeda. Phoebe adalah the Brain dari tim yang baru. Dia sejenius Egon, namun lebih sassy, adaptable, dan less socially awkward dibanding kakeknya yang kaku. Trevor sebagai the Outsider ala Winston. Trevor tidak sepintar adiknya ataupun punya ketertarikan terhadap hal-hal supernatural, namun mampu berkontribusi besar ketika dibutuhkan. Sementara Podcast, ia hadir sebagai the Everyman ala Ray dan Peter. Ia tak kenal takut dan selalu antusias (dan menghibur) tiap kali menyelidiki misteri di Summerville sebagai materi podcastnya.

READ  Begini Cara hilangkan Double Chin, Sangat Mudah dan Menyenangkan

Kehadiran tokoh anak-anak dan remaja membuat Ghostbusters: Afterlife terasa jauh lebih adventuring dan thrilling dibandingkan pendahulunya. Imajinasi yang masih liar plus spirit maju terus pantang mundur membuat para Ghostbusters baru lebih ngegas ketika harus merespon event-event supernatural. Hasil akhirnya adalah penelusuran misteri yang lebih engaging dengan sense of awe plus laga yang lebih beringas ketika Phoebe cs harus berhadapan langsung dengan ancaman-ancaman di Summerville.

Pendekatan tersebut kontras dengan para Ghostbusters sebelumnya. Dibanding Phoebe cs, Egon, Ray, Peter, dan Winstone lebih logis dan berhati-hati dalam menghadapi para hantu di kota New York. Mereka sebisa mungkin meminimalisir kesalahan dan resiko yang tak perlu sementara para penerusnya lebih experimental dengan pemikiran coba dulu, pikir belakangan. Rasanya beda dan Spielberg-esque.

Dari ketiga anggota baru Ghostbusters baru tersebut, spotlightnya ada pada Phoebe dan Podcast. Scene-scene di mana keduanya berinteraksi adalah beberapa bagian terbaik dari Ghostbusters: Afterlife. Interaksi keduanya selalu sukses mengundang tawa kami karena betapa kontrasnya kepribadian mereka, Phoebe yang serius dipasangkan dengan Podcast yang tengilnya setengah mampus.

McKenna Grace dan Logan Kim memainkan karakternya dengan apik dan kami tak akan kaget apabila Kim nantinya menjadi salah satu bintang komedi besar. Delivery komedinya kerap on point dan jarang sekali berakhir garing.

READ  Review Film Tarian Lengger Maut (2021): Menghadapi Trauma dengan Prahara

Hal yang tidak boleh dilewatkan pada review ini adalah bagaimana Jason Reitman mencoba menggunakan practical effect dalam menggarap Ghostbusters: Afterlife. Seperti ayahnya, Jason Reitman tidak mau terlalu bergantung pada CGI ketika menghadirkan serbuan hantu-hantu di Summerville. Sebagai contohnya, salah satu monster yang hadir kembali di Afterlife dihadirkan dengan teknologi animatronic. Bayangkan, di tahun 2021, masih pakai animatronic.

Overall, Ghostbuster: Afterlife adalah proses regenarasi yang apik dari Jason Reitman. Ia tidak terjebak di bawah bayang-bayang karya ayahnya. Sebaliknya, ia mengembangkan lebih lanjut apa yang sudah dibuat oleh ayahnya dan menyuntikkan hal-hal baru untuk menyegarkan kembali franchise Ghostbusters. Ghostbusters: Afterlife mungkin tidak akan se-ikonik Ghostbusters pertama yang rilis tahun 1984 lalu, namun Afterlife menunjukkan bahwa di tangan yang tepat franchise ini bisa memiliki hidup baru yang lebih engaging dan thrilling. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

Sumber: Kumparan.com

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *