Tag Archive for: Review Film

Review Film Harry Potter 20th Anniversary Return to Hogwarts

Review Film Harry Potter 20th Anniversary Return to Hogwarts

Akurasi.id, Jakarta –  Warner Bros. tampak sudah memiliki resep menghidupkan kembali tayangan legendaris, dan lebih berpeluang untuk diterima publik dibanding membuat versi reboot: sesi reuni.
Hal itu terlihat dari sesi reuni terbaru yang ditayangkan oleh Warner Bros. melalui HBO Max, Harry Potter 20th Anniversary Return to Hogwarts. Sebelum Return to Hogwarts, HBO Max merilis The Fresh Prince of Bel-Air Reunion pada 2020 dan Friends: The Reunion pada 2021.

Untuk Return to Hogwarts, acara reuni untuk penggemar Harry Potter ini tayang kurang dari setahun setelah Friends The Reunion yang rilis pada Mei 2021. Selang waktu yang mirip juga terjadi antara Friends The Reunion dengan The Fresh Prince of Bel-Air Reunion yang rilis pada November 2020.

Selayaknya dua sesi reuni tersebut, Return to Hogwarts adalah momentum penggemar Harry Potter yang mungkin kini sudah berkepala tiga dan memiliki anak, untuk kembali mengenang tayangan favorit mereka semasa anak-anak dan remaja dulu.

Suasana nostalgia jelas terasa dari film ini. Formulanya pun sama dengan Friends The Reunion dan The Fresh Prince of Bel-Air Reunion: mengundang pemain asli untuk datang ke lokasi syuting yang sama atau minimal diatur mirip dengan set aslinya.

Ditambah dengan obrolan antar pemain mengenang masa lalu dan dampak tayangan itu pada mereka, jelas akan memberikan sesi nostalgia tersendiri bukan hanya kepada para pemain melainkan juga penggemar.

Dampak yang sama juga masih terasa. Beberapa informasi memang sudah akrab bagi penggemar. Namun ada juga sejumlah informasi yang sebelumnya tak pernah dibayangkan oleh Potterhead, setidaknya oleh saya yang terbilang dulu pernah ‘halu’ menjadi bagian dari sekolah sihir itu.

Namun dibanding Friends The Reunion, film ini memiliki eksekusi yang lebih baik. Setidaknya, tidak ada tiba-tiba sesi runway kostum macam Halloween dari artis-artis yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan cerita tayangan itu.

film ini juga lebih fokus pada para pemain dan kru, dan dibuat seolah obrolan kawan lama serta pengakuan ala-ala reality show. Dengan sebagian besar obrolan dipandu oleh Daniel Radcliffe, obrolan para pemain dan kru jelas terasa lebih santai dan intim.

Alur nostalgia itu pun dibuat lebih rapi dengan pembagian babak-babak yang menggambarkan sejumlah momen penting dari dunia Harry Potter. Momen-momen emosional juga jelas terlihat disiapkan dan diatur sebaik mungkin.

Film satu jam 38 menit ini juga lebih fokus pada produksi film serial Harry Potter, alih-alih cerita serta gagasan si Anak yang Bertahan Hidup yang sebenarnya buah pemikiran JK Rowling. Sehingga, peran Rowling begitu terasa dikesampingkan dalam film ini.

Hal tersebut terlihat dari film ini yang sama sekali tidak mengundang Rowling. Wawancara Rowling yang muncul pun hanya berupa arsip dari 2019, era sebelum kontroversi pandangannya terhadap kelompok transgender menimbulkan protes dan pertentangan dari para pemain Harry Potter.

Saya sebagai salah satu dari penggemar sebenarnya cukup kecewa ketika JK Rowling tidak terlibat secara langsung dalam sesi reuni. Bagaimana pun juga, Rowling adalah awal mula dari dunia sihir Harry Potter yang mampu menjadi penyemangat jutaan Potterhead di dunia.

Meski begitu, keputusan sutradara Casey Patterson dan para produser untuk tidak menyertakan Rowling menimbang kontroversi yang pernah terjadi juga bisa dimaklumi. Jelas Warner Bros. tak ingin menimbulkan sesuatu yang bisa menjadi kontroversi dari kelompok yang sakit hati oleh Rowling.

Selain ketiadaan Rowling yang membuat sesi reuni ini menjadi terasa tak terlalu spesial, sejumlah pemain yang memerankan sosok ikonis pun tidak tampak.

Misalnya Michael Gambon yang berperan sebagai Albus Dumbledore dari film ketiga hingga kedelapan, Imelda Staunton sebagai Dolores Umbridge, Julie Walters sebagai Molly Weasley, atau Maggie Smith yang menjadi Professor McGonagall.

Padahal karakter-karakter tersebut punya peran dan kesan yang signifikan dalam kisah Harry Potter. Para penggemar pun pasti mengenali rupa wajah mereka, bahkan masih ingat adegan atau gaya-gaya ikonis karakter tersebut serta alasan mereka dicintai atau dibenci.

Namun seiring dengan film ini berjalan, Return to Hogwarts menampilkan betapa banyak aktor papan atas Inggris yang terlibat dan karakter yang muncul dalam dunia Harry Potter. Sehingga rasanya memang menjadi tantangan tersendiri dalam menentukan siapa yang mestinya ditampilkan dalam sesi reuni.

Meski begitu, mengingat film dokumenter ini ditayangkan di layanan streaming, semestinya durasi bukan menjadi sebuah hambatan. Apalagi film ini sudah pasti hanya dinantikan oleh penggemar Harry Potter yang akan dipastikan rela menyediakan waktu untuk kembali bernostalgia dengan dunia magis Harry Potter.

Terlepas dari itu semua, Return to Hogwarts masih patut menjadi rekomendasi tayangan untuk pencinta Harry Potter. Setidaknya, film dokumenter ini seperti penutup yang manis dari saga Harry Potter yang terakhir kali tayang pada 2011.

Bahkan lebih dari itu, dokumenter ini juga mengingatkan bahwa cerita dan delapan film Harry Potter bukan hanya sekadar film serta kisah fantasi, melainkan sebuah bab tersendiri dalam sejarah perfilman dan buku anak-anak di dunia. (*)

Sumber: CNNIndonesia.com

Editor: Redaksi Akurasi.id

Film 'CODA' : Kisah Anak dari Keluarga Tunarungu

Film ‘CODA’ : Kisah Anak dari Keluarga Tunarungu

Akurasi.id – Film CODA adalah salah satu film drama musikal keluarga yang paling menawan dan menyentuh secara emosional pada tahun 2021. Film ini banyak mendapatkan perhatian karena telah memenangkan berbagai penghargaan di antaranya dari Palm Springs International Film Festival 2021 dan Sundance Film Festival 2021. Film ini sendiri merupakan remake dari film asal Prancis, ‘La Famille Bélier’ yang dirilis pada tahun 2014, mengisahkan anak dari keluarga tunarungu.

CODA (Child of Deaf Adult) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak dari keluarga tunarungu atau orang tua penyandang tuli pendengaran. Diceritakan Ruby adalah seorang remaja SMA yang menghabiskan harinya dengan membantu bekerja di perahu nelayan bersama keluarganya setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Sejak kecil, dia telah menjadi jembatan komunikasi antara keluarganya dengan orang luar. Karena latar belakang keluarga penyandang disabilitas, ia sering dirundung oleh temannya. Keinginan Ruby untuk bernyanyi saat mengikuti paduan suara sebagai pilihan ekstrakurikulernya mulai terbangun.

Guru musiknya yang menyukai suaranya menawarkan untuk melatihnya secara pribadi agar ia bisa mengikuti audisi di Berklee College of Music untuk mendapatkan beasiswa di sekolah tersebut. Namun orang tuanya yang takut Ruby meninggalkan mereka menolak gagasan tersebut mentah-mentah. Walau begitu, pada akhirnya keluarganya menyetujuinya karena saat Ruby bernyanyi bersama temannya pada pentas di sekolah, orang tua Ruby yang tidak bisa mendengar melihat berbagai ekspresi penonton saat Ruby bernyayi membuat mereka yakin bahwa Ruby adalah penyanyi yang hebat.

Sisi menarik lainnya dari film ini adalah dibintangi oleh para pemeran yang juga merupakan keluarga disabilitas penyandang tunarungu. Ini membuat kita mendapatkan feel lebih saat menontonnya. Film ini bisa ditonton secara langsung di kanal Apple TV+. Banyak nilai moral positif yang dapat kita ambil dari film ini terutama agar kita lebih menghargai dan mendengar saudara kita terutama penyandang disabilitas. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

Sumber: Kumparan.com

 

 

 

Review Film The Boss Baby: Family Business (2021)

Review Film The Boss Baby: Family Business (2021)

Akurasi.id – Siapa yang sudah menonton film animasi The Boss Baby (2017)? Kisah Ted, sang Boss Baby, dan kakaknya, Tim, akhirnya berlanjut ke sekuelnya yang berjudul The Boss Baby: Family Business. Sekuel film ini seharusnya tayang pada 2 Juli 2021. Namun karena penutupan bioskop beberapa bulan lalu, Family Business baru tayang di Indonesia pada 3 Desember 2021.

Masih ingatkah kamu bahwa Tim dan Ted diceritakan telah dewasa di akhir film pertama The Boss Baby? Nah, Family Business bakal menceritakan kehidupan Tim dan Ted di usia dewasa mereka. Selain kembali menampilkan sebagian besar karakter dari film pertama, Family Business juga memperkenalkan villain baru, serta istri dan kedua anak perempuannya Tim.

Film ini berkisah tentang Tim dan Ted yang telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Tim disibukkan dengan keluarganya dan Ted disibukkan dengan pekerjaannya. Tim dan Ted kemudian harus menjadi anak kecil lagi demi misi menghentikan niat jahatnya Dr. Erwin Armstrong.

Kamu pasti pernah merasakan ketika semakin bertambah umur, kamu malah semakin jauh dengan orang terdekat, termasuk ke saudara sendiri. Nah, Family Business mengangkat permasalahan tersebut sebagai jalan ceritanya. Walau hadir dalam bentuk animasi yang identik dengan anak-anak, Family Business malah mengangkat isu yang relate dengan kehidupan orang dewasa.

Tim dan Ted terlihat begitu dekat saat mereka masih anak-anak, seperti yang bisa kamu lihat di film pertamanya. Namun saat mereka dewasa, kakak-adik ini malah seperti orang asing dan terlihat canggung satu sama lain. Enggak disangka, misi yang mengharuskan mereka kembali menjadi anak kecil yang malah memperbaiki hubungan Ted dan Tim.

Dibandingkan film pertamanya, isu yang diangkat di Family Business bisa dibilang lebih berat. Enggak hanya isu tentang hubungan antar saudara, Family Business juga mengangkat topik tentang hubungan antara ayah dan anak.

Enggak perlu diragukan lagi bahwa Family Business adalah paket film keluarga yang lengkap. Anak-anak yang menonton bisa terhibur dengan kelucuan film ini, sedangkan remaja dan orang dewasa yang menonton bisa mengambil pesan di balik kekonyolan film ini.

Enggak diragukan lagi bahwa hal yang membuat film pertama The Boss Baby jadi sangat lucu adalah kehadiran karakter Ted, seorang bayi dengan suara bapak-bapak. Untungnya, Family Business kembali menghadirkan Ted versi bayi dengan suara bapak-bapaknya. Ditambah lagi dengan Tim versi anak-anak yang juga dibuat dengan suara bapak-bapak di film ini.

Film pertamanya menampilkan pertengkaran Tim dan Ted dengan pikiran mereka yang memang masih anak-anak. Sedangkan di Family Business, Tim dan Ted secara psikologis adalah orang dewasa walaupun fisik mereka kembali menjadi anak-anak dan bayi. Nah, inilah yang membuat Family Business jadi lebih lucu dari film pertamanya.

Bagaimana enggak makin ngakak? Kamu seakan melihat dua orang dewasa bertengkar dengan cara yang kekanak-kanakan di Family Business. Rasanya sulit membayangkan mereka adalah anak-anak ketika Tim tampil dengan suara bapak-bapaknya, mengingat Tim memiliki suara anak-anak di film pertamanya.

Di antara semua adegan Family Business, adegan Tim dan Ted membuat kekacauan supaya bisa tiba di sekolah bisa dibilang yang paling lucu. Enggak hanya lucu terpingkal-pingkal, kamu juga bisa menemukan banyak karakter lucu menggemaskan di film ini. Dibandingkan film pertamanya, Family Business menampilkan lebih banyak karakter bayi menggemaskan.

Salah satu yang membuat film pertamanya menarik adalah plot twist villainnya. Enggak disangka, villain film pertama adalah mantan karyawan BabyCorp yang punya dendam dengan perusahaannya. Memang terdengar klise, namun plot twist tersebut yang membuat villain di film pertama punya latar belakang kuat untuk melakukan rencana jahatnya.

Family Business sebenarnya kembali menggunakan formula villain dengan plot twist, tetapi dengan konsep yang berbeda. Villain Family Business, yaitu Erwin Armstrong, sama sekali enggak punya hubungan dengan BabyCorp. Dia ternyata adalah seorang bayi super cerdas yang merasa enggak membutuhkan orang tua dan orang dewasa lainnya.

Jika dibandingkan dengan villain di film pertama, Erwin enggak punya motivasi yang berkesan. Dia hanyalah seorang villain yang melakukan kejahatan hanya demi kepuasan pribadinya. Walau secara motivasi tidak spesial, aktor pengisi suara Erwin, yaitu Jeff Goldblum, memerankan karakter ini dengan sangat baik.

Film inipun menjadi pilihan yang tepat untuk ditonton bersama keluarga. Orang dewasa pun bisa mendapatkan pesan yang relate dengan kehidupan mereka. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

Sumber: Kincir.com

 

 

 

Review Film Ghostbusters Afterlife: Regenerasi Para Pemburu Hantu!

Review Film Ghostbusters Afterlife: Regenerasi Para Pemburu Hantu!

Akurasi.id Film Ghostbusters Afterlife memperbaiki segala hal yang rusak pada film/remake sebelumnya, Ghostbusters Answer The Call (2016). Digarap langsung oleh Jason Reitman yang juga anak dari kreator franchise Ghostbusters, Ivan Reitman, Afterlife mengembalikan heart, thrill, dan suspense yang hilang pada film sebelumnya sekaligus memasukkan tone baru yang lebih engaging. Hasilnya, Afterlife adalah nostalgia trip yang setia dengan asalnya namun tidak kehilangan kebaruannya.

Film Ghostbusters Afterlife dibuka oleh Egon Spengler (mending Harold Ramis). Kurang lebih 31 tahun sejak insiden Vigo the Carpathian di New York (Ghostbusters II, 1989), Ghostbusters membubarkan dirinya. Keempat anggotanya yaitu Ray, Winston, Peter, dan Egon memutuskan berpisah serta memulai kehidupan baru. Walau begitu, dari keempatnya, hanya Egon yang memutuskan untuk tetap di jalur supernatural.

Meninggalkan keluarganya dan pindah ke sebuah kota kecil bernama Summerville, Egon memburu makhluk supernatural misterius yang muncul dari Penambangan Shandor. Dengan segala teknologi berburu hantu yang ia punya, Egon pede bakal bisa menangkap makhluk tersebut seorang diri. Nasib berkata beda, teknologi yang disiapkan Egon rusak di saat genting dan ia menjadi korbannya. Egon tewas seketika.

Sebelum tewas, Egon sempat mewariskan rumahnya di Summerville ke putrinya, Callie (Carrie Coon). Dalam kondisi ekonomi pas-pasan dan hendak diusir dari apartemennya, Callie tak punya pilihan selain memborong kedua anaknya, Trevor (Finn Wolfhard) dan Phoebe (McKenna Grace), ke Summerville untuk menempati rumah Egon.

Awalnya, kehidupan baru Callie, Trevor, dan Phoebe di Summerville berjalan baik-baik saja. Callie dekat dengan seismologist Gary Grooberson (Paul Rudd), Trevor mendapat pekerjaan di Spinners Burger Shack, dan Phoebe berteman dekat dengan bocah podcaster bernama Podcast (Logan Kim). Namun, normalitas itu perlahan berubah seiring dengan makin banyaknya event-event misterius di Summerville dan terkuaknya hal-hal yang selama ini dirahasiakan Egon dari keluarganya maupun Ghostbusters.

Ketika trailer film Ghostbusters Afterlife pertama kali muncul, first impression yang timbul adalah kisahnya akan lebih dark dan serius. Realitanya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Di satu sisi, cerita Ghostbusters: Afterlife memang lebih dramatis dengan tema family sebagai backdropnya, namun di sisi lain tetap asyik seperti kedua prekuelnya. Penonton akan menemukan misteri, investigasi, dan laga yang fun di dalamnya.

Treament film Ghostbusters Afterlife sendiri berhasil menghindari kesalahan yang dibuat oleh Star Wars Episode VII: The Force Awakens. Jason Reitman tidak membuat cerita yang terasa seperti kemasan ulang dari kedua film sebelumnya. Meski di dalam film para penggemar lama akan menemukan banyak penghormatan ke prekuel, kisah Ghostbusters: Afterlife benar-benar dirancang sebagai true sequel dari sisi manapun.

Pemilihan setting rural sebagai lokasi utama kisahnya adalah salah satu indikatornya. Dengan memborong perburuan hantu dari lokasi yang lebih metropolis dan modis ke lokasi yang lebih minimalis, sutradara Jason Reitman bisa menghindari segala potensi kemiripan dengan film-film garapan ayahnya.

Indikator lainnya adalah delivery komedi. Jason Reitman tahu betul bahwa franchise Ghostbusters bukanlah film horror through and through, melainkan film horror dengan bumbu komedi. Komedinya sendiri hadir dari dinamika anggota Ghostbusters, yang memiliki pribadi berbeda-beda, merespon event-event supernatural di hadapan mereka.

Untuk menghadirkan dinamika yang serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, Jason Reitman memutuskan untuk memakai pendekatan ala Stranger Things, The Goonies, dan IT. Tim Ghostbusters tak lagi diisi orang dewasa, tetapi anak-anak dan remaja yaitu Trevor, Phoebe, dan Podcast. Selain itu, setting waktunya saat libur musim panas di mana anak-anak biasa berlibur.

Sama seperti Egon cs, masing-masing memiliki kepribadian berbeda. Phoebe adalah the Brain dari tim yang baru. Dia sejenius Egon, namun lebih sassy, adaptable, dan less socially awkward dibanding kakeknya yang kaku. Trevor sebagai the Outsider ala Winston. Trevor tidak sepintar adiknya ataupun punya ketertarikan terhadap hal-hal supernatural, namun mampu berkontribusi besar ketika dibutuhkan. Sementara Podcast, ia hadir sebagai the Everyman ala Ray dan Peter. Ia tak kenal takut dan selalu antusias (dan menghibur) tiap kali menyelidiki misteri di Summerville sebagai materi podcastnya.

Kehadiran tokoh anak-anak dan remaja membuat Ghostbusters: Afterlife terasa jauh lebih adventuring dan thrilling dibandingkan pendahulunya. Imajinasi yang masih liar plus spirit maju terus pantang mundur membuat para Ghostbusters baru lebih ngegas ketika harus merespon event-event supernatural. Hasil akhirnya adalah penelusuran misteri yang lebih engaging dengan sense of awe plus laga yang lebih beringas ketika Phoebe cs harus berhadapan langsung dengan ancaman-ancaman di Summerville.

Pendekatan tersebut kontras dengan para Ghostbusters sebelumnya. Dibanding Phoebe cs, Egon, Ray, Peter, dan Winstone lebih logis dan berhati-hati dalam menghadapi para hantu di kota New York. Mereka sebisa mungkin meminimalisir kesalahan dan resiko yang tak perlu sementara para penerusnya lebih experimental dengan pemikiran coba dulu, pikir belakangan. Rasanya beda dan Spielberg-esque.

Dari ketiga anggota baru Ghostbusters baru tersebut, spotlightnya ada pada Phoebe dan Podcast. Scene-scene di mana keduanya berinteraksi adalah beberapa bagian terbaik dari Ghostbusters: Afterlife. Interaksi keduanya selalu sukses mengundang tawa kami karena betapa kontrasnya kepribadian mereka, Phoebe yang serius dipasangkan dengan Podcast yang tengilnya setengah mampus.

McKenna Grace dan Logan Kim memainkan karakternya dengan apik dan kami tak akan kaget apabila Kim nantinya menjadi salah satu bintang komedi besar. Delivery komedinya kerap on point dan jarang sekali berakhir garing.

Hal yang tidak boleh dilewatkan pada review ini adalah bagaimana Jason Reitman mencoba menggunakan practical effect dalam menggarap Ghostbusters: Afterlife. Seperti ayahnya, Jason Reitman tidak mau terlalu bergantung pada CGI ketika menghadirkan serbuan hantu-hantu di Summerville. Sebagai contohnya, salah satu monster yang hadir kembali di Afterlife dihadirkan dengan teknologi animatronic. Bayangkan, di tahun 2021, masih pakai animatronic.

Overall, Ghostbuster: Afterlife adalah proses regenarasi yang apik dari Jason Reitman. Ia tidak terjebak di bawah bayang-bayang karya ayahnya. Sebaliknya, ia mengembangkan lebih lanjut apa yang sudah dibuat oleh ayahnya dan menyuntikkan hal-hal baru untuk menyegarkan kembali franchise Ghostbusters. Ghostbusters: Afterlife mungkin tidak akan se-ikonik Ghostbusters pertama yang rilis tahun 1984 lalu, namun Afterlife menunjukkan bahwa di tangan yang tepat franchise ini bisa memiliki hidup baru yang lebih engaging dan thrilling. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

Sumber: Kumparan.com

 

 

 

Review Film Nussa: Prestasi Studio Animasi Lokal

Review Film Nussa: Prestasi Studio Animasi Lokal

Akurasi.id – Film Nussa yang populer karena serial animasinya di kanal YouTube, kini hadir sebagai film animasi panjang berdurasi 1 jam 47 menit. Masih digarap oleh studio Little Giantz, dengan Bony Wirasmono sebagai sutradara dan Ryan Adriandhy sebagai produser, Nussa “the movie” menceritakan kisah baru, stand alone, yang belum pernah dieksplor di serial Youtubenya. Merupakan prestasi studio animasi lokal.

Dilansir dari kumparan.com, Jumat (15/10/2021), Nussa sukses membawa animasi Indonesia ke tingkat baru, baik dari kualitas animasi maupun story. Merupakan prestasi studio animasi lokal. Animasinya vibrant dan joyful, mempertahankan feel yang ada di serialnya. Sementara itu, kisahnya sarat pesan moral yang halus, universal, dan tidak judgmental sehingga relevan bagi penonton dari kelompok usia apapun, mau boomer, millennial, ataupun gen-z.

Seperti titlenya, film ini berfokus pada Nussa (Muzakki Ramadhan), bocah 9 tahun yang berambisi mempertahankan gelar juara Science Fair untuk membanggakan keluarganya. Ambisi itu menemui halangan ketika Joni (Ali Fikry) hadir ke lingkaran pertemanan Nussa.

Hadir sebagai murid baru, Joni dengan cepat menarik perhatiaan dari Nussa yang selama ini dianggap jenius di sekolahnya. Bak kombinasi Dekisugi dan Suneo di Doraemon, Joni adalah anak yang tampan, pintar, kreatif, dan kaya raya. Kekayaan keluarganya memungkinkan ia membangun roket yang lebih canggih, modern, melebihi roket Nussa yang dibuat dari bahan daur ulang.

Ujian dan rintangan silih berganti menghampiri Nussa sejak Joni datiang. Hal itu mulai dari eksperimen roketnya yang selalu gagal, ditinggal ayahnya pergi bekerja ke luar negeri, hingga rivalitasnya dengan Joni. Puncaknya, Nussa “meledak” ketika mengetahui ayahnya tidak bisa pulang ke Indonesia, mendampinginya dalam Science Fair yang begitu penting untuknya.

Perlu diakui, secara kualitas animasi, Nussa jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan produk animasi dari Pixar, Studio Ghibli, Illumination, atau bahkan gaya animasi baru dari Sony Pictures. Walau begitu, untuk level Indonesia, hasil kerja keras tim Little Giantz dan Visinema patut dipuji. Kualitas animasinya yang vibrant, joyful konsisten terjagada dari awal sampai akhir. Konsistensi bukan perkara gampang dan sutaradara Bony Wirasmono menyebutnya berkat kerja keras 130 animator lokal.

Kekuatan utama Nussa The Movie ada pada kisahnya. Bersetting Ramadhan, kisah Nussa mengajak penonton mengeksplorasi konsep ikhlas, sabar, dan kompetisi dari perspektif anak-anak. Rivalitas dengan Joni plus ketiadaan bapaknya membuat Nussa meradang. Nussa tahu dirinya kalah popular, kalah pintar, dan kalah canggih, namun sutradara Bony Wirasmono dengan apik memperlihatkan bagaimana Nussa harus belajar melihat hal itu bukan sebagai ancaman dan meluapkan kemarahannya kepada hal lain, tetapi kesempatan bagi dirinya untuk berkembang.

Kisah itu terbentuk penokohan yang apik juga. Rara (Ocean Fajar), adik Nussa, karakternya sengaja dibuat menggemaskan dan kerap memecah tawa dengan tingkah konyolnya untuk menjaga filmnya tetap bersahabat untuk anak-anak. Abba (Alex Abbad) dan Umma (Fenita Arie), orang tua Nussa, hadir sebagai voice of reason bagi Nussa di kala suka maupun duka. Joni, yang hadir sebagai “antagonis” dari Nussa, pun hadir sebagai karakter yang lebih kompleks, tidak one dimensional seperti perkiraan.

Overall, meskipun film Nussa di paruh pertama terasa flat dan butuh penyesuaian bagi yang belum pernah menyaksikan serialnya di youtube, kualitasnya secara gradual terus naik seiring berjalannya cerita lewat pengembangan konflik serta karakter yang apik. Siap-siap saja menitikkan air mata di paruh kedua film.

Tidak berlebihan menyebut film Nussa sebagai salah satu film animasi karya anak bangsa yang terbaik saat ini. Seperti roket yang diciptakan Nussa, harapannya film animasi ini bisa terbang meluncurkan nama industry animasi Indonesia ke mata dunia dan membawa potensi besar di bidang perfilman animasi yang tak boleh dipandang sebelah mata lagi.

Film Nussa yang bertabur bintang mulai dari Raisa Andrianda, Dewi Sandra, Hamka Siregar, Opie Kumis, Imam Darto, Fenita Arie hingga Alex Abbad ini tayang perdana mulai 14 Oktober 2021 di seluruh bioskop tanah air. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

 

 

 

Review Film Semesta: Menggambarkan Indonesia Secara Utuh

Review Film Semesta: Menggambarkan Indonesia Secara Utuh

Akurasi.id – Apa yang paling dekat dengan kata Indonesia selain alamnya? Ialah kebudayaan dan kepercayaan. Kedua hal tersebut menggambarkan Indonesia secara utuh, karena Indonesia bukan sekadar Jakarta, Bali, dan Jawa. Akan tetapi, Indonesia berbicara tentang keberagamannya.

Dilansir dari kumparan.com, Sabtu (09/10/2021), sebuah film dengan judul Semes7a (dibaca Semesta) produksi Tanakhir Films berkisah tentang bagaimana campur tangan kebudayaan dan kepercayaan membuat alam menjadi lebih ‘waras’. Menggambarkan Indonesia secara utuh dengan beragam budaya dan alamnya.

Film Semesta juga menjadi salah satu film dokumenter panjang yang dibentangkan di layar bioskop Indonesia pada tahun 2020 silam. Dengan durasi 1,5 jam, film ini menyuguhkan bukti nyata Indonesia melalui sudut pandang kebudayaan dan kepercayaan dalam memelankan krisis iklim.

Film Dengan Isu Perubahan Iklim Tidak Selalu Menyorot Kerusakan Alam

Ada yang berbeda dari film Semesta dengan film dokumenter bertema perubahan iklim lainnya, karena Semesta akan mengajak kita menjelajah tujuh wilayah Indonesia lengkap dengan alam, tradisi, hingga berbagai cara yang dilakukan tujuh tokoh protagonis dalam film ini untuk menghormati dan merawat alam melalui iman dan kepercayaan yang berbeda. Menggambarkan Indonesia secara utuh.

Di permulaan cerita, penonton akan diguyur dengan suasana Bali yang dituntun oleh Tjokorda Raka Kerthyasa, yang tentunya bukan bicara mengenai keindahan laut dan kepopuleran Bali di mata asing. Namun, Tjokorda membantu membuka mata manusia untuk melihat ritual Nyepi sebagai waktu ‘tidur siang’ bagi alam untuk beregenerasi.

“Saat Nyepi-lah alam mengadakan pembenaran diri sementara. Walaupun, hanya satu hari dalam setahun, itu memberi dampak,” ungkap Tjokorda dalam film.

Selanjutnya, cerita mengalir ke arah Sungai Utik, Kalimantan Barat. Di sana masyarakat adat menjaga dan mengelola hutan-hutan terbaik dunia. Melalui sebuah petuah nenek moyang Suku Dayak Iban, yang menyebutkan siapa pun yang tinggal di hutan tersebut maka isi dari alam (hutan) milik masyarakat adat yang menempatinya. Maka dari itu, mereka harus mempertahankan isinya.

Selain petuah nenek moyang, ada juga satu kalimat yang digenggam oleh Suku Dayak Iban yaitu, “Tanah adalah ibu dan air adalah darah.”

Tujuh kata itu ditanam dalam hati dan jiwa mereka untuk dijadikan peringai dalam menjaga alam teritorialnya.

“Baik manusia, baik alam. Buruk manusia, buruk alam..”

Semesta tidak hanya menawarkan keindahan sinematografi Indonesia, tetapi sentuhan emosi dari cerita para tokohnya pun dapat menggerakkan penonton untuk merenungkan apa saja yang sudah mereka lakukan untuk memelankan krisis iklim.

Bicara menunda laju krisis iklim itu tidak memandang siapa yang bergerak. Seperti yang dilakukan oleh Pastor Katolik dan masyarakat NTT, yang memilih untuk memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) untuk menjadi solusi penyediaan listrik di lima desa pedalaman NTT.

Solusi ini juga menjadi gagasan untuk memanfaatkan potensi air yang melimpah dan mengurangi polusi yang disebabkan oleh generator berbahan bakar solar.

Kemudian, cerita ini juga berlari ke sudut pandang mama-mama Papua, tepatnya di Kapatcol, Papua Barat. Di sana kelompok Wanita Gereja Lokal Papua mengadakan tradisi Sasi untuk membuat hasil laut tidak surut secara cepat oleh keserakahan manusia. Selain itu, tradisi ini memberikan napas bagi biota laut untuk beregenerasi.

Sasi juga dianggap sebagai tabungan laut menurut Amina Kacili, “Dengan adanya sasi seperti ada tabungan. Walau, tidak ada uang.”

Setelah cerita dari Timur, Semesta juga membawa kisah dari Barat. Memperlihatkan bagaimana masyarakat Pameu, Aceh yang ladang dan kebunnya rusak karena gajah liar dari hutan turun ke desa.

Namun, dari kasus tersebut membuat masyarakat desa menuruti berdamai dengan alam untuk lebih saling mengenal dan saling memahami.

Dari semua kisah di atas, Semesta memberikan pandangan dan solusi penunda laju akibat krisis iklim melalui usaha-usaha kecil yang tentunya dapat mengalir kepada orang lain. Seperti cerita dari Yogyakarta yang meniti dari praktik kolaborasi permakultur dan thayyib, untuk berfokus pada hubungan timbal balik antara manusia dan alam.

Di menit-menit terakhir, Semesta ditutup dengan cerita dari ibukota yang menyinggung sebuah kebun urban di tengah Kota Jakarta sebagai solusi untuk masyarakat kota agar tidak terputus dengan alam dan juga menghargai setiap senti lahan di perkotaan yang bisa menjadi sumber kehidupan yang segar ketika dimanfaatkan untuk alam.

Memahami Alam dalam Naungan Budaya dan Kepercayaan

Melalui film Semesta, dari tujuh kisah dan tujuh budaya membuktikan kepada manusia ketika nilai budaya, dorongan agama, dan kearifan lokal yang berbeda dapat menjaga kelestarian alam.

Cara-cara sederhana dalam ketujuh cerita ini berfokus dalam penggambaran kebersamaan dan kerendahan hati manusia untuk tidak serakah pada alam, karena menekan laju krisis lingkungan itu tergantung dengan cara manusia menghormati alam.

Sehingga, alam, kebudayaan, dan kepercayaan adalah campur tangan sempurna untuk mengenal dan memahami alam semesta karena dalam prosesnya membutuhkan keikhlasan, kepasrahan, kepekaan terhadap sekitar, hingga kesabaran.

Film Semesta juga bisa menjadi pilihan tontonan bagi siapa pun yang sedang merindukan kebersamaan, tradisi, hingga alam Indonesia, karena permasalahan krisis iklim ini dibungkus dengan sudut pandang yang lebih segar dan ringan dengan vibrasi keberagaman Indonesia. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

 

 

 

Review Film No Time to Die (2021): Banyak Perubahan dari Pendahulu

Review Film No Time to Die (2021): Banyak Perubahan dari Pendahulu

Akurasi.id – James Bond yang diperankan oleh Daniel Craig telah banyak memberikan perubahan dari para pendahulunya. Bahkan dalam No Time to Die, sutradara Cary Joji Fukunaga lebih menantang. Kisahnya lebih sentimental dan membuat sosoknya terikat, sehingga pergerakannya pun lebih terukur.

Dilansir dari ulasinema.com, Selasa (05/10/2021), setelah lima film sebagai 007/James Bond, Craig akhirnya menyudahi perjalanannya menjadi agen rahasia MI6 ini. Sejak Casino Royale (2006), kita melihat banyak hal baru dari Bond yang ia perankan dari para pendahulunya. Hal tersebut dimulai dari sosoknya yang lusuh saat bertarung, nuansa film yang lebih kelam dan cerdik sehingga melahirkan kesan film yang jauh lebih serius.

Melihat Bond-nya Craig harus ditatap dalam satu paket, lima film dalam satu saga yang bukan hanya penuh aksi, tetapi trik-trik cerdik yang membuatnya semakin menarik dan unik. Karakter-karakternya pun diberikan kontinuitas dan perpisahan yang pas dalam No Time to Die ini.

Selain beberapa anggota MI6 seperti M (Ralph Fiennes), Q (Ben Whishaw), dan Eve (Naomie Harris), karakter pendukung seperti Felix (Jeffrey Wright), dan Madeleine (Léa Seydoux) juga diberikan porsi yang pas untuk perpisahan bagi mereka juga.

Tentunya, perpisahan termanis diberikan kepada Bond yang diperankan oleh Craig. Takhtanya diberikan cerita spionase pelik yang lahirkan kekerasan saja, unsur drama justru membuat film ini jauh lebih lembut dibandingkan film-film 007 yang dibintangi Craig juga. Bond kali ini memiliki ikatan yang jauh lebih dalam dengan beberapa karakternya, taklagi sefleksibel sebelumnya dalam beraksi.

Dengan adanya ikatan, bukan hanya penyelesaian misi dan menyelamatkan dunia semata yang menjadi taruhan Bond. Namun, lahir juga unsur untuk melindungi orang-orang terdekat, apalagi adanya permainan cinta yang membuat Bond jauh lebih sentimental. Bond bukan lagi sosok yang bisa seks sana-sini tanpa ada konsekuensi.

Mungkin hal ini sudah hadir dalam Casino Royale saat Vesper yang diperankan Eva Green begitu memikat dan mengikat Bond-nya Craig. Namun, kehadiran Madeleine yang bisa menawarkan jalan keluar dari hiruk-pikuk kehidupan Bond membuatnya begitu berbeda. Ditambah lagi, adanya kejutan dari Madeleine yang membuat Bond jauh lebih terikat, bukan hanya cintanya saja.

Beberapa film Bond sebelumnya saja sudah panjang dan rumit dengan adanya aksi dan spionase sehingga perlu pembuatan latar belakang yang jitu dan pengupasan masalah yang memakan waktu. Dengan hadirnya unsur drama yang mendalam, waktunya pun begitu molor, mencapai 2 jam 43 menit.

Bagian awal yang menceritakan latar belakang terasa agak terlalu cepat untuk membuatnya drama. Namun, begitu aksi sudah masuk dan konflik semakin nyata, kepiawaian Fukunaga dalam mengikat kita hampir selama tiga jam membuat film tak terasa lama dan membosankan.

Selalu ada trik menarik yang membuat kita terpikat, terutama adegan aksi di tangga di markas Lyutsifer Safin yang dibuat layaknya long take yang membuat ketegangannya semakin nyata. Rami Malek sebagai Safin sang musuh utama pun mengeluarkan aura kuat, mungkin hanya kalah dari Javier Bardem sebagai Silva di Skyfall (2012).

Akhirannya pun begitu emosional. Bond bukan lagi seorang pahlawan yang taktersentuh, ia terasa lebih manusiawi. Maaf Sean Connery atau para aktor yang sebelumnya memerankan Bond, mungkin hanya Craig yang bisa menjadi Bond yang seperti ini. Skenario yang ditulis Phoebe Waller-Bridge dkk. memang sangat dipersiapkan untuk memberikan emosi yang kuat.

Mungkin ada beberapa kalimat yang terdengar terlalu murahan dan taksesuai dengan karakter Bond. Permasalahan penyebaran virus yang dibuat juga sedikit dipertanyakan, sedikit noda tersebut membuat No Time to Die sedikit inferior dibanding Casino Royale dan Skyfall. Namun, bagi yang menunggu satu setengah tahun untuk film ini, dan enam tahun dari film terakhirnya, Spectre (2015), penantiannya terbayar dengan manis. (*)

Editor: Redaksi Akurasi.id

 

 

 

Review Film Rurouni Kenshin (The Final - The Beginning)

Review Film Rurouni Kenshin (The Final – The Beginning)

Akurasi.id — Sebagai (mungkin) penghujung, film Rurouni Kenshin: Final Chapter (The Final dan The Beginning) mencoba menjawab semua tanya, tapi seakan lupa menyuguhkan apa yang penonton haus akan Pertarungan.

Tapi rasanya tak apa, itulah konsekuensi premis besar dengan alur maju-mundur. Dua film ini sukses menggambarkan siapa sebenarnya Kenshin Himura.

Dilansir dari cnnindonesia.com, Sabtu (11/09/2021), film Rurouni Kenshin: Final Chapter berjalan mundur dan cukup apik menyampaikan ‘background’ besar cerita.

Rangkaian film Rurouni Kenshin mengisahkan tentang seorang pengembara bernama Kenshin Himura (Takeru Satoh), bekas pembunuh berdarah dingin di Jepang dengan latar tahun 1860-an.

Zaman perang peralihan rezim ia dikenal sebagai Hitokiri Bottousai (Battousai sang Pembantai). Usai rezim Syogun runtuh, ia mengganti nama menjadi Kenshin Himura dan berjanji pada dirinya tak lagi membunuh.

Bertahan menolong orang yang membutuhkan, ia juga membantu pemerintah Jepang menghentikan kejahatan sisa-sisa rezim Syogun yang belum sepenuhnya hilang.

Di pengembaraannya, ia tinggal bersama Kaoru (Emi Takei), Yahiko (Riku Ohnishi), dan Sanosuke Sagara (Munetaka Aoki). Bersama mereka, Kenshin menjaga perdamaian Tokyo dan Kyoto.

Rurouni Kenshin: Final Chapter (2021) adalah dua film terbaru dari rangkaian sebelumnya, Rurouni Kenshin: The Origins (2012), Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno (2014), dan Rurouni Kenshin: The Legend Ends (2014).

Final Chapter (The Final dan The Beginning) sebagian besar mengisahkan latar belakang persimpangan hidup Kenshin dari seorang samurai pembantai menjadi pengembara yang damai.

Alur Mundur, Kembali ke Sangat Awal

Pintu masuk alur mundur Rurouni Kenshin: Final Chapter dimulai dari momen pertemuan Kenshin dengan Enishi Yukishiro (Mackenyu Arata), yang ternyata adik dari mendiang istri Kenshin.

Pertarungan Kenshin dan Enishi di The Final membawa penonton terbang mundur ke masa-masa Kenshin bertemu Tomoe (Kasumi Arimura), yang ternyata tokoh sentral dalam premis besar 5 film Rurouni Kenshin.

Sungguh dua film terakhir ini ternyata berperan penting mengisi lubang-lubang pertanyaan yang muncul di benak penonton, dan Tomoe yang mulanya muncul sekilas-sekilas ternyata adalah inti dari semua.

Film ini seakan menjawab komentar dan ekspektasi penggemar Rurouni Kenshin bahwa klimaks dari alur maju cerita ini memang ada di pertarungan dengan Makoto Shishio (Tatsuya Fujiwara).

Lompat jauh ke belakang di sekuel akhir sebuah waralaba adalah ide gila dan berisiko, namun sutradara Keishi Ohtomo seakan menjawab: penting untuk mundur ke belakang, mengenal Kenshin.

Alur maju mundur tersebut memberi kesan bahwa waralaba 5 film ini adalah sebuah grand design yang luar biasa, dan terkonsep matang secara latar waktu.

Tahun 2012 adegan berawal di Pertempuran Toba Fushumi, dan sembilan tahun berikutnya berakhir di latar pertarungan yang sama, di badai salju yang sama.

Kaya Dialog dan Amat Lambat

Rasanya Rurouni Kenshin: Final Chapter (The Final dan The Beginning) tidak bisa ditonton dan dinilai tanpa berbekal pengalaman menyaksikan tiga film sebelumnya.

Pasalnya, kedua film terakhir tersebut didominasi dialog dan berjalan amat lambat, tak seperti film action pada umumnya. Ada pertarungan, tapi tak banyak.

Terutama Rurouni Kenshin: The Beginning, paruh awal film berjalan amat, amat lambat. Pertemuan serta dialog Kenshin dan Tomoe jadi sajian sejam penuh.

Namun itu beralasan, Tomoe lah kunci dan wanita paling berpengaruh di hidup Kenshin. Ialah kunci persimpangan Battousai menjadi Kenshin yang cinta damai.

Kenshin yang kita saksikan di cerita awal waralaba Rurouni Kenshin ternyata bukanlah pribadi yang sederhana, bukan sekadar pengembara, bukan sekadar samurai ‘insyaf’.

Kenshin bukanlah pribadi yang banyak bicara, maka untuk mengkonstruksi kepribadiannya dibutuhkan banyak ‘celoteh’ orang di masa lalu.

Jika Anda hanya haus aksi Kenshin mengayun pedang menebas lawan, berhentilah sampai Rurouni Kenshin: The Legend Ends. Tapi, Anda takkan mengenal Kenshin seutuhnya.

Tentang Tanda ‘X’ di Pipi Kenshin

Satu hal yang layak dikagumi dari kisah panjang Rurouni Kenshin (2012-2021) adalah bagaimana kisah panjang ke masa depan dan ke masa lalu berpusat pada suatu simbol, yaitu tanda ‘X’ di pipi Kenshin.

Rurouni Kenshin: The Beginning mempertebal sejarah asal-muasal tanda ‘X’ tersebut, di mana ternyata dua orang pembuat tanda tersebut adalah sepasang kekasih, Tomoe dan mantan kekasihnya.

Hal tersebut berkaitan dengan dua adegan yang berulang-ulang sejak Rurouni Kenshin: The Origins (2012), yaitu adegan Pertempuran Toba Fushumi di badai salju, dan pembunuhan kekasih Tomoe di Kyoto.

Sekali lagi, keterkaitan dan keterikatan waralaba lima film dibentuk amat baik, membuktikan bahwa produksi Rurouni Kenshin adalah sebuah grand design yang memukau.

Lima film dirasa tepat secara kuantitas merangkum kisah panjang sang samurai dalam versi manga (komik) dan anime (serial kartun televisi).

Berangkat dari kemunculan tanda ‘X’ di pipi pemeran utama yang terasa aneh dan tak penting, nyatanya tanda tersebut punya kisah panjang dalam konstruksi pribadi Kenshin.

Tokoh Utama yang Apa Adanya

Pada akhirnya kita tahu siapa Kenshin Himura. Ia bukanlah tokoh utama superhero yang suci. Justru dosa-dosa di masa lalu yang membuat kita tahu bahwa Kenshin adalah tokoh utama yang apa adanya.

Ia adalah pembunuh berdarah dingin, ia adalah samurai yang keji, ia (secara teknis) adalah perebut kekasih orang. Kenshin yang baik hati adalah ujung dari perjalanan batin yang berat.

Namun, satu hal yang pasti: Kenshin merupakan seorang samurai yang konsisten ingin menciptakan kedamaian di Jepang. Namun, cara mewujudkannya berbeda, bergantung pada situasi.

Semoga ulasan ini dibaca oleh penonton yang telah menuntaskan lima film waralaba Rurouni Kenshin, sehingga kita punya pemahaman dan kepuasan yang sama soal konstruksi tokoh Kenshin.

Salah Satu Live-action Terbaik

Pada akhirnya tetap dapat dikatakan bahwa Rurouni Kenshin merupakan salah satu proyek live-action terbaik. Tak mudah tentunya mewujudkan proyek live-action.

Transformasi format dari karya orisinal anime atau manga tentu risikonya besar. Sama seperti cerita lainnya, Rurouni Kenshin atau Samurai X punya banyak penggemar.

Adegan laga pertempuran amat fantastis, namun tetap nampak realistis mengingat latar cerita adalah kenyataan – samurai sungguh ada -, yang dipotret dramatis.

Penokohan setiap karakter tidak terasa gagal, hampir semuanya (setidaknya terasa) seperti yang digambarkan di manga dan anime, pun Kenshin.

Takeru Satoh bisa memerankan seorang samurai yang dingin, tak berperasaan. Dalam waktu berbeda, ia pun dapat menjadi sosok yang hangat dan penuh iba.

Setiap dari lima film waralaba Rurouni Kenshin berakhir, sebagai penggemar Rurouni Kenshin atau Samurai X rasanya ingin berdiri dan bertepuk tangan, begitu mengangumkan.

Apalagi, kisah Kenshin di tengah pergantian era/rezim memberi kita pelajaran yang dekat dengan kehidupan: Meski korbankan darah, runtuhnya rezim tak mungkin tak bersisa. (*)

Editor: Yusva Alam

 

Review Marriage: Balada Pasutri Menjelang Perceraian

Review Marriage: Balada Pasutri Menjelang Perceraian

Akurasi.id – Film percintaan tentang sepasang kekasih mungkin sudah biasa, dan biasanya berakhir dengan bahagia. Namun, kalau film tentang perceraian? Nampaknya masih jarang bisa kita simak apalagi di Indonesia. Nah, baru-baru ini KlikFilm merilis film Indonesia terbaru berjudul Marriage, sebuah film yang menggambarkan kisah hidup rumah tangga yang diambang perceraian atau balada pasutri menjelang perceraian.

Dengan bumbu konflik yang cukup pelik, film ini sanggup berkembang dengan segala pertikaian rumah tangga yang menarik untuk diikuti. Penasaran? Simak review kisah balada pasutri menjelang perceraian. Dilansir dari kincir.com, Sabtu (04/09/2021).

Balada Pasutri Menjelang Perceraian

Pernikahan Vika (Anastasia Herzigova) dan Mirza (Ge Pamungkas) nampaknya tidak bisa dipertahankan kembali. Keduanya nyaris sudah tidak bisa lagi berkomunikasi dengan baik. Prasangka masing-masing kepala sudah terlalu keruh untuk jernihkan. Sebab itu, keduanya memutuskan untuk bercerai.

Dalam menunggu proses perceraian, Mirza dan Vika mengalami pengalaman yang mirip: bertemu dengan orang baru yang bikin mereka jatuh hati lagi. Vika bertemu dengan Rio, seorang pengacara sukses yang tampan. Sementara Mirza bertemu dengan Dara, mantannya waktu SMA yang begitu pengertian. Keduanya hanyut dalam perasaan cinta yang baru.

Nah, apakah Mirza dan Vika akhirnya jadi bercerai? Apakah mungkin hubungan mereka masih bisa diselamatkan? Kamu akan tahu jawabannya dalam film Marriage.

Mengingatkan pada Film Marriage Story

Pada 2019, Netflix pernah rilis film berjudul Marriage Story yang dibintangi Scarlett Johansson dan Adam Driver. Sepanjang film tersebut kita hanya disuguhkan tentang debat dan pertikaian. Nah, film Marriage ini mengingatkan kita pada Marriage Story. Bahkan, bisa jadi memang terinspirasi dari film tersebut.

Bedanya, pengembangan cerita film Marriage lebih lokal. Seperti hubungan dekat antara menantu dan mertua, atau Mirza yang terus dinasehati teman dekatnya agar berpikir ulang soal perceraian. Lalu, Vika yang berulang kali ditanyakan tentang keseriusan perceraian oleh sahabatnya.

Hal-hal tersebut mungkin lumrah ditemukan di Indonesia. Mengingat pendapat-pendapat dari orang terdekat begitu bisa memengaruhi keputusan seseorang.

Sentuhan Komedi yang Tanggung

Film ini dibintangi oleh sejumlah komika, seperti Ge Pamungkas, Indra Jegel, dan Mamat Alkatiri. Maka tak heran jika punya selipan komedi. Sayangnya, hal itu jadi membuat bias cerita yang sudah terbangun tegang dan seru. Selipan komedinya jadi nanggung. Padahal premis ceritanya menarik dengan dua tokoh yang karakternya lumayan mengikat.

Film ini disutradarai oleh Danial Rifki. Sepanjang film, kita disuguhkan dengan sinematografi yang cukup baik. Lagu “Ku Kira Kau Rumah” dari Amigdala yang dipakai juga terasa begitu tepat. Apalagi, Danial menaruhnya di adegan-adegan yang memang perlu sentuhan penguat.

Akting Ge Pamungkas dan Anastasia Herzigova

Selain itu, sutradara kelahiran 1982 itu juga berhasil mengeluarkan emosi Ge Pamungkas dan Kiku. Keduanya adalah sepasang suami istri di dunia nyata, tapi Ge dan Kiku berhasil terlihat benar-benar saling bermusuhan dengan amarah yang begitu kencang.

Sayangnya, karakter Mirza yang diceritakan sebagai seorang psikiater dirasa tak terlalu kuat. Mirza lebih terasa seperti mahasiswa yang baru lulus, kemudian menikah ketimbang sebagai ahli medis kesehatan mental. Selain itu juga, tidak ada adegan yang menguatkan jika Mirza benar-benar seorang psikiater.

Selain Ge Pamungkas dan Kiku, ada juga Ira Wibowo yang lagi-lagi memamerkan kebolehannya dalam berakting. Kecemasan seorang ibu mendengar anaknya hendak bercerai yang ditampilkan dalam raut wajah Ira Wibowo terasa begitu nyata. Film ini juga dilengkapi dengan penampilan Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Hesti Purwadinata, dan sejumlah pemeran lain yang semakin melengkapi cerita. (*)

Editor: Yusva Alam

Menangkap Perjuangan Rakyat Aceh di Film Tjoet Nja Dhien

Menangkap Perjuangan Rakyat Aceh di Film Tjoet Nja Dhien

Menangkap Perjuangan Rakyat Aceh di Film Tjoet Nja Dhien

Poster film Tjoet Nja’ Dhien di Mola. (kumparan.com)

Akurasi.id – Dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan ke-76 Indonesia, Mola menayangkan versi restorasi dari film Tjoet Nja’ Dhien. Ini menjadi sajian yang tidak boleh dilewatkan oleh masyarakat Indonesia, terutama buat generasi muda yang enggak sempat nonton film ini di bioskop, karena Mola menayangkan secara gratis.

Dilansir dari laman kumparan.com, sabtu (28/08/2021), Tjoet Nja’ Dhien merupakan film drama epos yang pertama kali ditayangkan pada 1988. Film baru saja direstorasi oleh Eye Film Museum Amsterdam dan IdFilmCenter Foundation Jakarta pada awal tahun 2021.

Disutradarai oleh Eros Djarot, cerita mengisahkan tentang Pahlawan Nasional, Tjoet Nja’ Dhien, yang dahulu sempat memimpin rakyat Aceh untuk berperang melawan Belanda.

Tokoh Tjoet Nja’ Dhien diperankan oleh aktris legendaris Indonesia, Christine Hakim. Ada pula Slamet Rahardjo yang memerankan suami sekaligus Pahlawan Nasional, Teuku Umar.

Film ini menceritakan tentang perjuangan gigih seorang wanita asal Aceh dan teman-teman seperjuangannya melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh di kala penjajahan di zaman Hindia Belanda. Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.

Film ini tidak hanya menceritakan dilema-dilema yang dialami Tjoet Nja’ Dhien sebagai seorang pemimpin, tetapi juga yang dialami oleh pihak tentara Kerajaan Belanda kala itu, dan bagaimana Tjoet Nja’ Dhien yang terlalu bersikeras pada pendiriannya untuk berperang, akhirnya dikhianati oleh salah satu orang kepercayaannya dan teman setianya, Pang Lot yang merasa iba pada kondisi kesehatan Tjoet Nja’ Dhien yang menderita rabun dan encok, ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan keluarga mereka.

Diceritakan pula seperti apa masa tua dari Tjoet Nja’ Dhien yang mulai mengalami berbagai penyakit. Semua itu yang akhirnya membuat Tjoet Nja’ Dhien tidak bisa lagi turun ke medan perang dan harus diasingkan.

Tjoet Nja’ Dhien memiliki durasi yang cukup panjang, yakni 1 jam 45 menit. Karena itu, film ini bisa cukup detail dalam menangkap perjuangan yang dilalui Tjoet Nja’ Dhien, Teuku Umar, serta rakyat Aceh melawan Belanda.

Di sisi lain, film juga menyajikan berbagai dilema yang dirasakan oleh sosok Tjoet Nja’ Dhien. Ya, memang Tjoet Nja’ Dhien adalah sosok pahlawan yang unik, karena sudah berhasil menyuarakan kesetaraan gender di masanya.

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.

Keberanian Cut Nyak Dhien dalam perang melawan Belanda, sampai akhirnya diasingkan dan meninggal di Sumedang tahun 1908, membuat dirinya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno.

Produksi film Tjoet Nja’ Dhien

Tjoet Nja’ Dhien bisa kategorikan sebagai film kolosal, karena melibatkan banyak sekali orang di setiap adegan peperangan yang megah. Tidak heran jika film ini menelan biaya hingga Rp 1,5 miliar, ukuran yang besar saat itu.

Kabarnya, saat bermain di Tjoet Nja’ Dhien, Christine Hakim dan Slamet Rahardjo rela untuk tidak dibayar, karena budget produksi yang terlanjur membengkak.

“Kami enggak ada yang dibayar. Mas Slamet (Rahardjo), saya, enggak ada yang dibayar. Bahkan kami nyari duit untuk bisa film ini selesai,” kata Christine.

Bagi sang sutradara, Eros Djarot, membuat film ini adalah sebuah pertaruhan. Proses produksi film ini menghabiskan waktu tiga tahun, termasuk riset mengenai potongan sejarah aslinya agar hasilnya terasa autentik. Bahkan ada sebuah adegan penutup yang produksinya dilakukan terpaut selama dua tahun.

Menyelesaikan pembuatan film Tjoet Nja’ Dhien butuh komitmen tinggi dari sutradara, aktor hingga kru yang terlibat. Bayangkan saja, Christine Hakim harus menjaga mood dan karakter Tjoet Nja’Dhien selama tiga tahun. Christine yang berdarah Aceh, bahkan sempat tidur di rumah kayu saat syuting dan mandi di kali demi suasana hati sebagai Tjoet Nja’ Dhien. Selesai syuting, ia perlu waktu tiga tahun untuk bisa lepas dari karakternya.

Tidak heran jika Tjoet Nja’ Dhien sukses memenangkan Film Terbaik di Festival Film Indonesia 1989. Sebab, film ini tergolong luar biasa, mulai dari budget, sinematografi, alur cerita yang kompleks dan seru, hingga kehebatan akting para aktornya.

Begitu pula dengan Christine Hakim yang berhasil dengan baik berperan sebagai Tjoet Nja’ Dhien. Meski tokoh itu berjuang di akhir era 1800-an, Christine Hakim yang aktif berakting sejak 1973 berhasil menghidupkannya kembali untuk banyak anak muda di era ’80-an hingga sekarang. Berkat aktingnya di film ini, dia menang penghargaan Festival Film Indonesia 1988 untuk kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik.

Tjoet Nja’ Dhien juga sempat diajukan Indonesia untuk seleksi Academy Awards ke-62 tahun 1990 dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Meski tak lolos pencalonan nominasi untuk merebut Piala Oscar, film ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes. (*)

Editor: Yusva Alam